Alur Pikir Reklamasi Pasca Tambang
13 September 2021Tanah Pengawet Kayu
29 September 2021Tanah bengkok merupakan sebutan untuk tanah milik desa. Tanah bengkok diberikan oleh desa sebagai gaji bagi pamong desa yaitu kepala desa dan perangkat desa selama masa jabatannya. Pamong desa mempunyai hak atas tanah untuk memenuhi kehidupan keluarganya dengan cara mengelola tanah tersebut sehingga menghasilkan uang yang dianggap sebagai honorarium. Jika pamong desa tersebut habis masa jabatannya, maka tanah tersebut dikembalikan ke desa untuk diserahkan pada pamong desa yang melanjutkan.
Dengan begitu tanah bengkok mempunyai minimal 4 unsur yang penting. Pertama, merupakan bagian dari tanah desa. Kedua, diberikan kepada warga desa yang sedang menjabat pamong desa. Ketiga, pemberian hak atas tanah hanya sementara waktu selama yang bersangkutan menjabat pamong desa. Terakhir, pemberian hak sebagai honorarium bagi pamong desa untuk menghidupi diri dan keluarganya sebagai kompensasi para pamong desa memimpin dan mengurus segala urusan publik di tingkat desa karena umumnya mereka bukan berstatus sebagai ASN.
Pada prakteknya tanah bengkok dapat juga dipergunakan untuk keperluan umum seperti puskesmas, lapangan olahraga, tempat ibadah, kantor kelurahan dan makam. Sarana-sarana sosial tersebut bisa diwujudkan dengan mengadakan musyawarah desa atau kelurahan yang dihadiri tokoh-tokoh masyarakat yang menghendaki sarana-sarana sosial tersebut. Hasil musyawarah diteruskan ke tingkat kecamatan dan hingga ke pemerintah kabupaten atau kota. Pada pemeritahan desa, pendapatan dari kegiatan tanah bengkok yang beragam tersebut diperuntukkan untuk pamong desa.
Belakangan banyak desa berubah status menjadi kelurahan. Status kepala desa yang dipilih juga berubah menjadi lurah yang merupakan ASN. Demikian pula perangkat desa banyak yang merupakan ASN sehingga mereka mendapat gaji. Status tanah bengkok pun berubah menjadi aset pemerintah kota atau pemerintah kabupaten. Pendapatan dari eks tanah bengkok menjadi pendapatan daerah yang pengelolaannya tergantung kota atau kabupaten setempat. Umumnya kelurahan tetap mendapat bagian pendapatan.
Dari sudut pandang ilmu tanah dan pertanian, tanah bengkok ternyata memiliki posisi strategis. Menurut, Sulistio tokoh masyarakat di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, tanah bengkok yang berupa lahan pertanian di Jawa Barat umumnya tanah-tanah yang tergolong berkualitas 1. Itu sebutan masyarakat lokal untuk tanah yang tingkat kesuburannya relatif lebih tinggi dibanding tanah di desa tersebut. Misalnya karena dekat dengan sumber air seperti sungai atau mata air lokal.
Dapat juga karena posisinya berada di bagian lembah sehingga menjadi daerah endapan tanah topsoil yang tererosi dan pupuk yang tercuci dari tanah di bagian atas. Menurut Sulistio, lantaran tanah bengkok umumnya tergolong tanah kualitas 1, maka produktivitasnya biasanya di atas rata-rata tanah di desa tersebut. “Tanah bengkok menjadi rebutan untuk disewa oleh para petani,” kata Sulistio. Namun, demikian seiring waktu seringkali tanah bengkok berubah fungsi dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian seiring kebutuhan desa.
Bahkan pada tanah bengkok—yang status desanya berubah menjadi kelurahan—maka tanah bengkok yang menjadi aset pemerintah daerah dapat berubah fungsi tergantung kebutuhan daerah. Kondisi itu, menurut Sulistio, berbahaya karena desa menjadi kehilangan tanah kualitas 1. “Perlu evaluasi tanah-tanah bengkok yang harus dipertahankan untuk lahan pertanian karena pada tanah bengkok kewenangan pemerintah daerah dan desa mutlak.
Beda dengan lahan milik perorangan yang pemerintah sulit mengendalikan perubahan kepemilikan dan penggunaan,” kata Sulistyo. Terlebih, menurut Sulistio, saat ini pemerintah daerah digembar-gemborkan harus memiliki lahan abadi untuk pertanian sebagai penopang ketahanan pangan daerah. “Lahan abadi untuk pertanian harus memprioritaskan tanah bengkok,” kata Sulistio.
Apabila daerah dapat menilai ulang kesesuaian lahan tanah bengkok yang masih cocok untuk pertanian kemudian mempertahankannya, maka lahan abadi untuk pertanian—terutama padi—dapat terjaga. Daerah juga, menurut Sulistio harus memberi ruang pada reorganisasi petani desa. Petani desa adalah petani yang ada di desa dan mengolah tanah desa. Mereka harus punya akses untuk mengolah tanah bengkok atau eks tanah bengkok karena tanah itu umumnya tanah-tanah berkualitas.***
Oleh: Destika Cahyana