Meningkatkan Lahan Pangan Per Kapita untuk Kedaulatan Pangan
28 October 2024Oleh Prof. Budiman Minasny*)
Jakarta (ANTARA) – Bulan Oktober tahun ini menjadi momen penting bagi dunia ilmu pengetahuan, khususnya dalam disiplin ilmu murni fisika dan ilmu terapan pertanian.
Dua ilmuwan terkemuka, John J. Hopfield dan Geoffrey E. Hinton, dianugerahi Hadiah Nobel Fisika 2024 atas kontribusi besar mereka dalam pengembangan konsep dasar pembelajaran mesin dengan jaringan saraf buatan.
Konsep yang mereka temukan tak hanya mengubah dunia fisika, tetapi juga mempengaruhi berbagai bidang, termasuk pertanian.
Berkat jasa kedua ilmuwan ini, pertanian modern telah mengalami revolusi yang luar biasa dibandingkan satu atau dua dekade yang lalu.
Hadiah Nobel Fisika jarang sekali diberikan kepada ilmuwan yang dampaknya langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pertanian.
Namun, di usia 91 dan 76 tahun, Hopfield dan Hinton telah memetik jerih payah mereka yang dilakukan 44 tahun silam.
Keduanya mengembangkan konsep yang memiliki potensi besar untuk mengubah cara pertanian dilakukan di seluruh dunia.
Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) sebagian besar dibangun berdasarkan metode jaringan saraf buatan. Metode ini mulai berkembang pada tahun 1940-an dengan model yang dirancang untuk meniru cara kerja otak manusia.
Pada tahun 1980-an, Hopfield dan Hinton membuat terobosan penting dengan mengembangkan representasi matematis yang melibatkan node yang saling terhubung, membentuk jaringan yang mampu memperkuat atau melemahkan koneksi antar- node.
Model matematis tersebut memungkinkan sistem untuk mengubah masukan (input) menjadi keluaran (output) yang diinginkan dengan akurasi yang semakin tinggi.
Jaringan saraf buatan kemudian mulai semakin populer pada tahun 1990-an seiring dengan meningkatnya ketersediaan daya komputasi.
Kemajuan ini mencapai puncaknya ketika metode deep learning, yang merupakan cabang dari jaringan saraf buatan, berkembang pesat pada awal 2000-an.
Sebuah tonggak penting dalam sejarah AI terjadi pada tahun 2012, ketika Alex Krizhevsky dan timnya memenangkan kompetisi ImageNet menggunakan metode deep convolutional neural network (AlexNet).
Pencapaian ini membuktikan bahwa pembelajaran mendalam dapat memberikan hasil terbaik dalam pengenalan gambar, memicu revolusi besar dalam penelitian AI.
Sejak saat itu, teknologi AI terus berkembang pesat, dengan munculnya model bahasa besar seperti ChatGPT yang digunakan dalam berbagai bidang, termasuk pemrosesan bahasa alami dan pengenalan gambar.
Pembelajaran mesin, salah satu cabang AI yang berfokus pada analisis dan prediksi, telah digunakan di berbagai sektor, termasuk pertanian.
Dunia Pertanian
Dalam pertanian, teknologi AI digunakan untuk memprediksi hasil panen dari citra satelit, memprediksi kebutuhan pupuk melalui analisis tanah, dan memantau kondisi tanaman.
Contoh penerapan AI dalam pertanian di Indonesia adalah penelitian yang dilakukan oleh Dhimas Wiratmoko dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Selama studi S3-nya di Universitas Sumatera Utara, Dhimas mengembangkan sistem berbasis web yang menggunakan citra satelit untuk memprediksi status nutrisi daun kelapa sawit. Tradisionalnya, petani harus mengirimkan sampel daun ke laboratorium untuk dianalisis, yang memakan waktu lama.
Dengan teknologi berbasis AI, proses ini dapat dilakukan dengan lebih cepat dan efisien, memungkinkan petani di Sumatera Utara untuk memperkirakan status nutrisi tanaman mereka dalam skala luas.
Demikian pula ada peneliti Indonesia, Rudiyanto, yang saat ini mengajar di Universitas Malaya, Terengganu, mengembangkan model yang dapat memantau pertumbuhan padi di mana saja di seluruh dunia.
Di Australia ada Marliana Widyastuti, mahasiswa dari Indonesia yang studi di University of Sydney mengembangkan metode yang dapat memantau kadar air tanah di seluruh Pulau Tasmania secara secara real time. Data ini digunakan petani untuk mengetahui waktu dan jumlah air irigasi diperlukan.
Selain itu, di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), peneliti seperti Dr. Yiyi Sulaeman dan Dr. Destika Cahyana bersama peneliti di IPB University telah menggunakan machine learning untuk menghasilkan peta tanah yang lebih detail hingga tingkat subgroup.
Peneliti lain seperti Fadhlullah Ramadhani, PhD banyak mengembangkan aplikasi berbasis AI untuk peternakan seperti domba maupun tanaman hortikultura seperti bawang. Hal serupa dilakukan oleh Dr. Sari Intan Kailaku yang menggunakan machine learning untuk memonitor rantai pasok pascapanen mangga, memberikan informasi yang sangat berharga untuk pengambilan keputusan di sektor pertanian.
AI berpotensi membawa banyak manfaat di berbagai tahap dalam proses pertanian, mulai dari penanaman hingga panen dan pemasaran. Namun, penerapannya masih terbatas oleh ketersediaan teknologi dan infrastruktur.
Sebagai contoh, meskipun saat ini kita dapat membayangkan adanya aplikasi ponsel yang mampu menganalisis gambar tanaman dan memberikan rekomendasi aplikasi pupuk secara otomatis, hal tersebut belum sepenuhnya terealisasi karena keterbatasan sensor dan model matematis yang ada saat ini.
Di masa depan, AI diperkirakan akan semakin berkembang dan terjangkau, memungkinkan petani untuk memanfaatkan teknologi ini dalam skala yang lebih luas.
Contohnya, di Australia, robot yang dilengkapi AI digunakan untuk mengidentifikasi dan menargetkan gulma secara otomatis, mengurangi penggunaan bahan kimia hingga 96 persen.
AI juga telah membantu petani mengoptimalkan penggunaan air dalam irigasi, memprediksi waktu penyiraman yang ideal berdasarkan data cuaca dan kondisi tanaman, yang pada gilirannya meningkatkan efisiensi penggunaan air.
Di sektor peternakan, AI digunakan untuk memantau kesehatan hewan secara real-time menggunakan sensor dan kamera, mendeteksi tanda-tanda awal penyakit sehingga dapat diambil tindakan lebih cepat.
Misalnya, mesin pemerah susu robotik yang dilengkapi AI kini mampu melacak perilaku sapi, memberikan data yang sangat berguna untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan hewan.
Penerapan AI juga telah merambah ke penggunaan drone yang dilengkapi teknologi AI untuk memantau kondisi tanaman dan hasil panen.
Drone ini mampu mendeteksi wabah hama, memprediksi hasil panen, dan bahkan membantu dalam proses pengemasan buah dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Meskipun investasi awal dalam teknologi AI masih cukup besar, manfaat jangka panjang yang diperoleh dari efisiensi operasional, penghematan sumber daya, dan peningkatan produktivitas menjadikan AI sebagai investasi yang berharga di sektor pertanian.
Diharapkan, seiring dengan berkembangnya teknologi, AI akan menjadi semakin terjangkau sehingga petani kecil pun dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan hasil pertanian mereka.
Dengan demikian, kontribusi ilmuwan seperti John J. Hopfield dan Geoffrey E. Hinton dalam pengembangan AI bukan hanya membawa perubahan besar di dunia ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan dampak nyata bagi masa depan pertanian di seluruh dunia.
*) Penulis adalah guru besar pertanian di University of Sydney, Australia.
Copyright © ANTARA 2024
Sumber artikel: https://m.antaranews.com/amp/berita/4429029/kecerdasan-buatan-untuk-dunia-pertanian