APA BEDA TANAH JAWA DAN SUMATERA
14 February 2022Tanah Sehat untuk Cegah Bencana
4 March 2022Jawa Timur kembali berduka. Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang dengan puncak tertinggi bernama Mahameru meletus pada 4, Desember 2021. Letusan itu membuat masyarakat di Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang panik. Belum ada laporan resmi jumlah korban terdampak fenomena erupsi gunung berapi tersebut.
Tentu pada jangka pendek letusan gunung berapi menjadi musibah bagi masyarakat terdekat yang kehilangan harta dan benda. Namun, sesungguhnya pada jangka menengah dan jangka panjang letusan gunung berapi merupakan anugerah bagi masyarakat Jawa Timur. Abu dari Puncak Semeru akan meremajakan kembali tanah-tanah di kaki gunung yang merupakan sentra pertanian pangan, hortikultura, buah-buahan, dan perkebunan.
Menurut Setiyo Purwanto, peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor, Gunung Semeru merupakan salah satu dari tiga gunung berapi paling aktif di Pulau Jawa. Dua gunung lainnya ialah Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Kelud di Jawa Timur. Di Pulau Jawa sendiri terdapat 45 gunung berapi aktif, sementara di Indonesia terdapat 127 gunung berapi aktif. Perut gunung-gunung berapi itu ibarat hamparan ‘pabrik pupuk’ alami yang memasok pupuk secara gratis pada umat manusia.
Peta tanah skala 1:50.000 yang diterbitkan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor, menunjukkan tanah-tanah di Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang yang berada di kaki Gunung Semeru merupakan tanah Vitric Hapludands dan Typic Hapludands. Kedua tanah tersebut merupakan tanah Andosols. Ia adalah tanah vulkanik yang subur bagi pertumbuhan tanaman karena banyak mengandung mineral alofan yang kemudian berasosiasi dengan bahan organik.
Tanah Andosols banyak berkembang menjadi wilayah sentra produksi pertanian. Sebut saja di Cipanas dan Pacet di Kabupaten Cianjur. Demikian pula di Lembang Kabupaten Bandung Barat dan Pangalengan Kabupaten Bandung. Dataran tinggi Dieng di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, serta Kabupaten Malang di Jawa Timur juga tergolong tanah Andosols yang terkenal sebagai daerah pertanian maju penghasil produksi pertanian hortikultura berdaya saing tinggi.
Bagi ilmuwan Ilmu Tanah erupsi gunung berapi memang dipandang sebagai berkah, bukan sebagai bencana seperti kebanyakan orang. Mereka memandang peran gunung berapi dalam skala waktu panjang. Mulai skala belasan, puluhan, ratusan, hingga ribuan tahun. Guru besar Ilmu Tanah di Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Sudarsono, selalu menegaskan bahwa setiap gunung berapi meletus, maka muntahan vulkanik yang jatuh ke permukaan bumi menjadi bahan induk baru yang kaya nutrisi sehingga tanah selalu subur kembali.
Bahkan, untuk Jawa Timur, berkah gunung berapi jauh lebih tinggi dibanding di Jawa Tengah dan di Jawa Barat. Pada 2002, E. Van Ranst dari Geological Institute, Ghent University dan S.R. Utami Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, mengungkap pola sifat-sifat material letusan gunung berapi di Pulau Jawa. Ia meriset sifat fisika dan kimia tanah dengan bahan induk vulkanik—tanah andisol—di Pulau Jawa dengan urutan dari timur hingga ke barat.
Menurut Ranst dan Utami, pola umum tanah yang terbentuk di Jawa Timur adalah tanah dengan pH tinggi. Keduanya melihat terdapat pola pH tanah dari timur ke barat semakin rendah alias kian masam. Demikian pula kalsium dapat ditukar (Ca-dd) di tanah semakin menurun dari timur ke barat. Hal itu karena material abu vulkanik yang menjadi bahan induk dari timur ke barat cenderung menjadi lebih masam.
Abu vulkanik di Jawa Timur tergolong basic (calc-alkaline basaltic ash) kemudian menjadi lebih masam (basalt-andesitic ash) di Jawa Tengah, dan lebih masam lagi (andesitic tuffaceous ash) Jawa Barat. Tanah pertanian di Jawa Timur yang berkembang dari bahan induk non-masam menjadi nilai lebih karena selama ini pertanian di Indonesia banyak terkendala oleh tanah yang cenderung masam.
Persoalan yang kemudian muncul adalah seringkali tanah yang subur untuk pertanian pangan dan hortikultura ternyata rentan terkena bahaya (hazard) yang disebabkan fenomena alam. Padahal, setiap bahaya belum tentu menjadi bencana (disaster) apabila manusia tidak terdampak oleh fenomena alam tersebut. Fenomena alam seperti letusan gunung api, banjir, longsor, dan gempa bumi sesungguhnya fenomena alam seperti hujan yang merupakan keniscayaan dalam proses evolusi bumi. Ia menjadi bencana terdampak pada manusia.
Wilayah seperti lembah pegunungan, delta dan muara sungai, sesar lempengan bumi terkenal sebagai wilayah paling subur dalam sejarah peradaban manusia. Namun, area tersebut juga dikenal paling rentan (fragile) terdampak bahaya. Kesadaran dampak bahaya itu sesungguhnya telah disadari nenek moyang kita yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan menjadi kearifan lokal. Sayang, belakangan kearifan lokal itu mulai menghilang.
Di masa silam para petani selalu memisahkan wilayah pemukiman berupa perkampungan dengan wilayah pertanian berupa sawah maupun ladang. Area pemukiman umumnya memiliki tanah lebih stabil dan datar. Area pemukiman juga umumnya jauh dari tebing sehingga terbebas dari longsoran di atasnya maupun di bawahnya. Sebaliknya daerah pertanian berada di daerah subur meskipun rentan dari bahaya.
Para petani hanya membangun pemukiman sementara sekadar untuk beristirahat di area pertanian yang rentan. Mereka rela berjalan jauh atau menggunakan sepeda dari rumah menuju sawah dan ladang demi zonasi yang secara tak sadar dibuat. Tentu sebenarnya jarak antara rumah dengan tempat bekerja yang jauh tak menjadi persoalan karena saat ini masyarakat modern juga melakoninya.
Baru belakangan ini wilayah subur nan rentan itu berubah menjadi pemukiman secara masif karena desakan pertumbuhan penduduk. Tentu tugas pemerintah pusat dan daerah untuk menentukan zonasi wilayah yang rentan dan aman dari bahaya di setiap daerah. Wilayah yang sangat rentan dapat dimanfaatkan untuk konservasi. Daerah yang agak rentan tetapi subur dapat digunakan untuk area pertanian. Sementara daerah yang aman diperuntukkan bagi pemukiman. Semoga di masa depan letusan Gunung Semeru benar-benar menjadi berkah untuk masyarakat di Lumajang dan Malang.
Destika Cahyana
Sumber foto: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211227053410-20-738936/tanggap-darurat-erupsi-semeru-berakhir-pemda-kebut-relokasi