Tiga Pilar Utama Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian
1 September 2024The 2nd International Conference of Sains Tanah (ICOSATA) 2024
4 September 2024
Oleh: Muhrizal Sarwani
Dewan Pakar Himpunan Ilmu Tanah Indonesia
Negara kita, Indonesia adalah penghasil minyak sawit terbesar di dunia dengan volume produksi kisaran 46-47 juta ton dan pada tahun 2022 volume ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia mencapai 26,22 juta ton dengan nilai mencapai US $ 15,95 milyar. Dengan produksi sebesar itu, kontribusi Indonesia terhadap minyak sawit global sebesar 58-59% (USDA 2022: Ditjen Perkebunan, 2023). Hal ini ditopang oleh perkebunan kelapa sawit seluas 16,8 juta (audit BPKP terbaru), meningkat hampir 500 ribu ha dari yang tercatat di BPS (2021) atau Ditjen Perkebunan (2023).
Perkebunan swasta besar menyumbang 52,3 % dari luas perkebunan kelapa sawit, sementara perusahaan perkebunan negara memiliki 6,4 %, sisanya (41,3%) atau sekitar 6,76 juta ha adalah lahan yang dikelola oleh petani kecil, yang biasa disebut dengan ‘perkebunan sawit rakyat’. Sepertiga dari tanaman sawit rakyat ini atau 2,25 juta ha merupakan kebun yang dikelola oleh petani plasma, yang menanam dan menjual tandan buah segar (TBS) sawit mereka kepada perkebunan swasta atau perkebunan negara sebagai perusahaan inti. Petani plasma ini mendapat bantuan keuangan dan bantuan teknis dari perusahaan inti.
Dua per tiga tanaman sawit rakyat tersebut atau 4,51 juta ha adalah kebun yang dikelola oleh petani yang secara swadaya membangun kebun sawit secara mandiri dan tidak mendapatkan akses bantuan teknis atau finansial dari perkebunan besar. Mereka digolongkan sebagai petani kecil (small holders)
Kebun Sawit Rakyat yang Merana
Hasil rata-rata TBS di lahan kebun sawit rakyat khususnya di lahan petani kecil mandiri tergolong rendah yaitu 13,9 t/ha atau hanya 42% dari hasil yang dapat dicapai oleh perkebunan besar (Monzon et al., 2023). Ini adalah soal utama dan pertama dari kebun sawit petani kecil mandiri. Soal kedua adalah di kawasan kebun sawit rakyat termasuk yang terbelakang dalam segala hal dibandingkan dengan petani plasma, kawasannya termasuk “enclave kemiskinan”. Sebabnya adalah pendapatan rumah tangga petani kecil ini bergantung langsung dari penjualan hasil TBS kebun sawit mereka yang luasan lahan mereka antara 1,2 – 2,1 ha. Diperkirakan terdapat sekitar 2,6 juta rumah tangga petani kecil dari sekitar 7,1 juta jiwa pekebun dan pekerja yang terlibat di perkebunan sawit (Ditjenbun. 2023)
Karena itu, meningkatkan TBS akan berdampak sangat signifikan terhadap kehidupan para petani kecil ini. Kebijakan yang dilakukan pemerintah saat ini untuk meningkatkan hasil TBS tanaman sawit rakyat berfokus pada penanaman kembali (replanting) dengan bahan/bibit tanaman bersertifikat.
Perkebunan besar (swasta dan negara) umumnya memakai bibit tanaman bersertifikat sedangkan perkebunan sawit rakyat khususnya petani swadaya biasanya menggunakan bibit tanaman yang tidak bersertifikat. Bibit tanaman sawit bersertifikat (>98%) umumnya dari jenis sawit tenera (SNI, 2015). Sebaliknya, bibit tanaman yang tidak bersertifikat biasanya menunjukkan frekuensi sawit dura yang lebih tinggi. Tingkat ekstraksi minyak (Oil Extraction Ratio, OER) umumnya lebih besar pada sawit tenera, sementara tanaman dura dengan OER lebih rendah 35-50 persen. Jadi, adalah masuk akal dan rasional jika pemerintah menggalakkan program replanting bagi tanaman sawit rakyat.
Namun, persoalannya adalah jika petani kecil ini mengadopsi bahan tanaman bersertifikat hanya dapat dilakukan pada saat penanaman awal melalui pembukaan lahan baru atau penanaman kembali, yang biasanya terjadi ketika perkebunan mencapai 25 tahun. Selain itu, ada masa tunggu setelah penanaman dilakukan yang kisarannya antara 3-4 tahun. Selama masa tunggu ini mereka kehilangan penghasilan (opportunity cost) yang rutin setiap panen TBS.
Entah bersertifikat atau tidak (Tenera atau Dura) tetaplah harus dipupuk jika inginkan hasil yang bagus. Petani yang mengelola kebun sawit rakyat dengan frekuensi dura yang lebih rendah belum tentu menerima manfaat ekonomi yang terkait dengan OER yang lebih tinggi. Petani swadaya ini harus menghasilkan volume yang cukup dan secara kolektif menjual langsung ke pabrik yang akan menilai bahan baku mereka Volume minyak yang memadai hanya didapatkan melalui penggunaan pupuk yang pas. Itulah rule of thumb agronomy. Karena itu, peluang keuntungan tidak dapat diambil oleh petani swadaya karena industri tidak mengukur hasil minyak di tingkat lapangan dan harga yang diterima oleh petani tidak bergantung pada frekuensi dura. Sehingga hanya sedikit insentif yang diterima petani sawit rakyat untuk penggunaan bahan tanam bersertifikat jika tidak dipupuk dengan aturan agronomi yang benar. Mungkin inilah salah satu hal yang jadi sebab lambannya adopsi program replanting, selain oppurtunity cost selama masa tunggu.
Proyek Yield Gap yang melibatkan berbagai Instansi di dalam negeri dan luar negeri dengan motor utama dari University of Nebraska, USA pada tahun lalu (2023) bekerjasama dengan Pusat Riset Perubahan Iklim UI melakukan Round Table Discussion terkait dengan Balanced Nutrition pada tanaman Kelapa sawit. Dari diskusi terungkap bahwa penyebab utama dan pertama rendahnya produktivitas sawit rakyat dari petani kecil swadaya adalah kekurangan nutrisi (hara) tanaman. Hampir sebagian besar lokasi (> 90%) yang disurvai oleh Proyek Yield Gap menunjukkan luasnya sebaran kekurangan hara (widespread disorder of nutrients ) pada berbagai lokasi sentra sawit rakyat di Indonesia (973 lokasi). Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa hasil TBS berhubungan signifikan dengan konsentrasi hara daun. Sebagian besar lahan kekurangan K dan sebagian juga kekurangan N, P, Mg, dan B.
Bansos Pupuk untuk Kebun Sawit Rakyat
Meningkatkan pasokan nutrisi (hara) pada kebun sawit rakyat melalui penggunaan pupuk yang pas dapat meningkatkan hasil TBS 47%, setara dengan 5,6 t TBS atau setara dengan 1,2 t ha minyak sawit mentah (CPO). Pendekatan ini dapat meningkatkan hasil dengan cepat dan dampaknya besar bagi petani kecil dibandingkan jika hanya dilakukan penanaman kembali. Dalam jangka pendek, pemupukan memberikan peluang untuk meningkatkan hasil TBS pada rentang umur tanaman sawit dura.
Karena itu, alternatif kebijakan berupa bansos pupuk akan dapat melengkapi program penanaman bahan tanam bersertifikat yang diarahkan untuk mengurangi frekuensi dura tetapi dengan total hasil minyak (OER) yang lebih besar.
Kajian dan bukti empiris hasil uji coba lapangan dari kegiatan Proyek Yield Gap menunjukkan bahwa hasil rata-rata akan meningkat dari 13,9 t ha menjadi 23,7 t ha. Secara nasional pendekatan ini dapat meningkatkan produksi TBS nasional sebesar 30 MMT, yang setara dengan 6 MMT CPO (+12% dari level saat ini). Selain itu, usulan kebijakan ini (bansos pupuk) akan berdampak besar terhadap pendapatan rumah tangga petani karena pendapatan yang berasal dari budidaya kelapa sawit menyumbang setengah dari pendapatan rumah tangga tahunan dari 1,5 juta rumah tangga petani swadaya. Potensi dampaknya akan sangat signifikan pada produktivitas dan pengembalian investasi jutaan hektar kebun sawit rakyat yang dikelola oleh petani kecil swadaya.
EUDR: Regulasi yang Membuat Petani Sawit Rakyat Semakin Merana
Petani yang mengelola kebun sawit rakyat akan menghadapi persoalan yang lebih rumit dengan diberlakukannya UU Anti deforestasi (European Union on Deforestation Regulation/EUDR) pada awal tahun depan (Januari 2025) untuk produk perusahaan besar dan pertengahan tahun depan (juli 2025) untuk produk dari petani kecil.
EUDR merupakan regulasi yang memastikan komoditas dan produk tertentu bebas dari kegiatan defrostasi dari sudut pandang Uni Eropa. Komoditas yang mendapat perhatian adalah kelapa sawit, karet, kakao, kopi, kayu, daging sapi, dan kedelai. Dengan adanya regulasi tersebut, Uni Eropa akan melarang masuknya beberapa komoditas untuk konsumen mereka jika tidak memenuhi kriteria yang diatur dalam EUDR. Celakanya sebagian besar komoditas yang didaftar tersebut adalah komoditas andalan ekspor Indonesia seperti kelapa sawit, kopi, kakao, karet, kayu. Uni Eropa sudah memetakan lokasi rencana implementasi EUDR pada negara-negara penghasil komoditas yang didaftar sebagai komoditas yang mengancam hutan.
Karena itu pendekatan meningkatkan hasil melalui bansos pupuk sebagai komplemen penggunaan bahan tanaman yang bersertifikat akan mengurangi bahkan mencegah terjadinya perambahan hutan, sehingga implementasi EUDR tahun depan sudah dapat dikurangi dampaknya bagi petani kecil.
EUDR tidak bisa dianggap remeh meskipun volume ekspor kita ke Uni Eropa tidak sebanding dengan ekspor CPO kita ke Cina, India, atau Pakistan. Tetapi apa yang diatur oleh Uni Eropa sering di follow oleh negara-negara lain, seperti halnya regulasi-regulasi yang pernah diterapkan oleh Uni Eropa terhadap produk ekspor kita. Kita harus bersiap diri dengan berbagai cara untuk melindungi industri sawit kita dan terlebih lagi para petani kecil kita.
Apa yang dapat dilakukan? Diplomasi kita tidak bisa lagi defensif dan seperti biasa saja, harus lebih pro-aktif sesuai yang diinginkan oleh UUD. Riset kita juga harus fokus pada satu data satu peta dengan kriteria yang dibuat EU.
Kita harus tetap berkepala dingin dan juga tidak kehilangan akal serta reaktif terhadap situasi tersebut. Deraan terhadap produk sawit kita sudah berulang kali dan berlangsung lama yang dilakukan terutama oleh negara-negara Uni Eropa.
Deraan yang bertubi terhadap Industri Sawit
Mungkin ingatan kita perlu di refresh kembali bagaimana kita dan Malaysia terutama dimotori oleh Perusahaan Sawit Malaysia melalui fasilitasi pemerintah melawan ‘black campaign” minyak sawit pada akhir 90-an, tidak dengan cara defensif tetapi pro-aktif melakukan kerjasama pembiayaan riset dengan Universitas terkemuka di Amerika dan Eropa. Dampaknya luar biasa dengan banyaknya publikasi pada jurnal-jurnal terkemuka terkait minyak sawit kita yang ternyata aman-aman saja tidak seperti yang dituduhkan.
Habis itu, muncul lagi campaign berikutnya berupa “Gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim” yang disebabkan oleh Perkebunan sawit pada tahun 2010 an akhir. Mengantisipasi hal tersebut, Kementan mengeluarkan regulasi Peraturan Mentan No. 11 tahun 2015 tentang Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang merupakan modifikasi Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO). Perusahaan sawit di Indonesia bahkan bekerjasama dengan LSM dunia melakukan pemantauan terhadap konservasi keanakeragaman hayati di Perkebunan Sawit Indonesia. Perusahaan sawit besar Indonesia bahkan sudah melakukan pembuatan jejak karbon (Carbon footprint) di perkebunan sawit. Yang lebih hebat lagi adalah salah satu Perusahaan sawit terbesar di Indonesia sudah melakukan monitoring Gas Rumah Kaca dengan penggunaan peralatan yang canggih yang hanya tersedia terbatas di dunia. Harganya saja Triliunan.
Jadi sebetulnya Perusahaan Sawit terutama swasta besar sudah terbiasa dan selalu siap dengan regulasi apapun yang diatur dunia.
Mulai awal tahun depan, industri sawit kita akan berhadapan dengan EUDR. Berdasarkan pengalaman yang lalu, regulasi yang baru ini mungkin dapat dilewati oleh Industri sawit kita. Uni Eropa nampaknya sudah kehabisan akal untuk meruntuhkan industri sawit kita yang sangat kuat. Wajar saja karena menurut hitung-hitungan berdasarkan data dari FAO (2020) yang dilakukan oleh Prof. Fahmuddin Agus, peneliti dan dewan pakar Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, produktivitas minyak sawit 4 kali lipat dibanding sunflower oil dan rapeseed oil, 6 kali lipat dibandingkan soya oil dan 11 kali lipat daripada olive oil bahkan 400 kali dibanding sesame oil. Artinya memang industri sawit sangat efisien dan kompetitif ditopang oleh produktivitas yang tinggi sehingga sangat tangguh terhadap guncangan yang menderanya mulai black campaign, perubahan iklim dan tahun depan EUDR. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita mesti memikirkan membangun ekosistem industri sawit yang terintegrasi baik hulu maupun hilir. Hulu sudah mantap tetapi hilirasi industri sawit sudah harus kita mulai. Menkeu Sri Mulyani sudah menyampaikan bahwa Pemerintah akan memberikan insentif maupun regulasi yang kondusif untuk hilirisasi industri sawit..
Lalu pertanyaan fundamentalnya adalah bagaimana dengan kesiapan petani kecil kita? Mereka masih berkutat dengan produktifitas sawit mereka yang 42% lebih rendah dibanding dengan sawit yang dikelola Perusahaan. Bukan hanya soal penggunaan bahan tanaman yang tidak bersertifikat tapi juga soal penggunaan pupuk yang terbatas dalam jumlah maupun jenisnya.
Karena itu, pertama, kebijakan yang perlu diambil pemerintah selain menggalakkan replanting adalah bansos pupuk untuk para petani kecil ini. Ini jadi jalan keluar terhadap perambahan hutan.
Namun, persoalan masih akan berlanjut jika lokasi petani kecil ini berada di kawasan hutan alias ilegal, yang berdasarkan audit BPKP terdapat 3.37 juta ha lahan sawit yang masuk ke dalam kawasan hutan. Apalagi kalau kawasan mereka masuk ke dalam lokasi yang sudah dipetakan oleh Uni Eropa atau masuk ke dalam kawasan deforestasi..Bagai jatuh tertimpa tangga, situasi itulah yang dihadapi petani kecil yang semakin terpukul karena tidak hanya aksesnya terhadap bantuan pemerintah menjadi tertutup tetapi juga tidak akan bisa menjual TBS yang mereka hasilkan.
Jadi, yang kedua, pemerintah harus segera menyelesaikan kasus kawasan hutan ini agar petani kecil punya kejelasan. Jangan dibiarkan berlarut-larut.
Selanjutnya, yang ketiga, pemerintah harus mengambil kebijakan terkait EUDR dengan sungguh-sungguh. Karena hal ini bisa menjadi jalan bagi pabrik untuk menggoreng harga TBS petani kecil. Salah satu kebijakan yang perlu dipikirkan adalah memanfaatkan produksi sawit rakyat untuk kebutuhan dalam negeri baik sebagai minyak goreng atau sebagai bio-solar, yang dapat di switch setiap saat tergantung kebutuhan mana yang mendesak. Pada saat minyak goreng diperlukan maka produksi diarahkan kepada komoditas itu, tetapi ketika bio-solar mahal dipasar dunia maka bio-solar lah yang diperbanyak.
Soal itulah diantara banyak soal pangan yang harus diselesaikan pemerintahan baru khususnya Menteri Pertanian yang dipilih.
Editor: Sandro Gatra (Kompas.com)
Artikel: https://money.kompas.com/read/2024/09/04/100627326/kebun-sawit-rakyat