TEKANAN BERDASAR UKURAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
16 March 2022Konservasi dengan Alpukat
24 May 2022Wilayah desa biasanya sangat luas. Jarak antar rumah minimal bisa 10 meter. Ukuran petak lahan sekitar rumah pun bisa 300-500 meter. Permukiman penduduk begitu leluasa penuh kenyamanan ruang dan interaksi antar warganya. Kondisi ini membuat pengelolaan lingkungan menjadi banyak pilihan, termasuk dalam mengelola sampah.
Umumnya sampah di desa dulunya dominan material organik, seperti dedaunan yang jatuh dari pohon di pekarangan depan dan belakang rumah. Mengingat ruang yang luas pula, penduduk sering membuat lubang tanah untuk pembuangan sampah. Ada yang di depan dan ada pula yang di belakang rumah. Sampah organik ini biasanya dibakar setiap beberapa hari sekali. Ada juga yang kreatif menimbun dengan tanah dan membuat lubang sampah lagi di sampingnya.
Perkembangan kota yang makin merambah ke desa mendorong banyak produk berbungkus plastik masuk ke desa pula. Akhirnya di desa pun banyak material sampah plastik. Nah, mengingat pola kebiasaan lama, penduduk masih pula tetap membuang sampah di lubang tanah tadi dan secara periodik membakarnya.
Tanpa disadari, bakaran sampah non organik tadi menimbulkan asap dan bau menyengat, bahkan berpotensi mengandung racun yang merusak pernafasan manusia. Maka jika pola ini dibiarkan terus, pencemaran udara akibat pembakaran sampah akan menjadi memprihatinkan. Belum lagi kebiasaan petani, seusai panen juga sering membakar sisa seresah di ladang. Konon agar lahan cepat bersih dan segera bisa diolah lagi untuk penanaman berikutnya.
Makanya pengelolaan sampah sesuai dengan teori ideal, yaitu 3 R (reduce, reuse, recycle), begitu enak diucapkan tapi berpotensi sangat berat dipraktekkan karena terbentur pola kebiasaan puluhan tahun seperti penjelasan di atas. Apalagi sampah lebih diartikan sebagai barang yang kotor, jorok dan menjijikan. Padahal manusia sendiri yang memproduksinya akibat dari aktifitas keseharian.
Masyarakat desa cukup tertolong dengan para pemulung yang berkeliling dari kampung ke kampung mencari barang rongsok (besi, plastik, dll) yang bisa dijual lagi ke pabrik untuk di daur ulang. Tanpa disadari pemulung ini telah mempraktekkan fase reuse (dipakai kembali) dan recycle (didaur-ulang). Pola ini sebenarnya mirip yang dilakukan oleh kelompok bank sampah yang banyak di permukiman perkotaan. Penerapan bank sampah di desa sering dianggap kurang menarik, karena produk sampahnya juga tidak terlalu banyak dan ruang pembuangan masih terbuka lebar.
Maka mengubah kebiasaan pengelolaan sampah di desa harus dilakukan secara sederhana dan bisa jadi masih jauh dari konsep ideal. Minimal masyarakat menyadari pentingnya kebersihan seisi rumah dan halaman pekarangan sekitar rumah. Misalnya dengan rutin menyapu pada pagi dan sore hari. Pola hidup bersih ini bisa dikaitkan dengan pentingnya menjaga kesehatan untuk seluruh keluarga.
Berikutnya adalah mendorong mereka untuk membuang sampah pada tempatnya. Sampai tahapan ini masih cukup mudah dilakukan. Asal ada tempat sampah di dekatnya, mereka akan membuang ke wadah tersebut. Tapi langkah ini masih berupa membuang segala sampah dalam satu tempat.
Tahap paling berat adalah pemilahan, yaitu memisahkan mana yang organik dan non organik. Ada fenomena lucu ketika ibu-ibu berusaha membuang sampah organik dari sisa masak dan makan tapi dengan memasukkan ke kantong plastik, lalu membuangnya. Langkah ini otomatis akan mencampurkan material organik dan plastik. Pemilahannya di lokasi pembuangan jelas akan menyulitkan. Makanya ada teori ideal yang mendorong pemilahan dimulai dari rumah tangga.
Masyarakat desa bisa dilatih untuk membuat pupuk organik dari sampah rumah tangga. Jika mereka tertarik dengan pupuknya, otomatis kebiasaan baru untuk mengumpulkan meterial organik akan dilakukan. Bila perlu ada wadah komposter di masing-masing rumah. Setiap ada material organik, akan dibuang langsung ke wadah itu. Proses pengomposan terjadi pada lapir terbawah, lalu rontok menjadi kompos dan bisa dikeluarkan secara periodik. Jika ini sudah banyak peminat, minimal ada 10 rumah per RT, maka akan cukup mewarnai pola kehidupan baru yang lebih bersemangat dalam mengelola sampah.
Selanjutnya bank sampah dapat diterapkan. Aspek ekonomi bisa dikedepankan untuk membangun keuntungan. Misalnya dari sampah barang pecah belah dan plastik dapat dijual kembali menjadi kas kelompok. Walaupun pemasukan harian hanya beberapa ribu rupiah, tapi logika untung ini akan membantu mereka lebih bersemangat.
Tahap berikutnya adalah mengelola sampah an organik yang berbahaya (limbah B3). Pemerintah daerah harus turun tangan mengelola jenis sampah ini dengan mengangkut dan membawa ke lokasi pembuangan sampah yang lebih aman dan jauh dari permukiman.
Jadi, membangun kebiasaan mengelola sampah itu tidak mudah. Butuh ketekunan dan contoh yang baik diantara warga masyarakat tersebut dan rutinitas pencerahan dari para pembina dan pendamping kelompok masyarakat. Lalu didukung dengan teknologi pengolahan sampah untuk pupuk organik dan pemilahan yang bernilai ekonomi. Pengelolaan sampah secara luas membutuhkan kolaborasi warga masyarakat, pemerintah desa sampai pemerintah kabupaten/kota yang mempunyai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.
Propaganda yang terus menerus dan secara periodik ada lomba berhadiah menarik dalam mengelola sampah, akan membuat warga masyarakat semakin termotivasi. Para pembina perlu melakukan pendekatan formal (penyuluhan) dan silaturahmi “door to door” agar semua bisa termotivasi, bahwa sampah adalah masalah bersama dan berpotensi jadi bencana masa depan apabila kita masih malas bersegera melakukan langkah cerdas dalam semangat kegotong-royongan.
Muhamad Kundarto
Sumber foto: https://www.liputan6.com/citizen6/read/3914674/cara-mudah-membuat-pupuk-kompos-sendiri-dari-sampah-organik-rumah-tangga