Tridarma Ilmu Tanah 4
24 May 2022Kisah Mara, Musa, dan Ilmu Tanah
26 May 2022Tanah dan bentang lahan ternyata berpengaruh besar pada makna bahasa dan cara pandang masyarakat yang hidup di atasnya. Indonesia yang berada di wilayah tropis dapat menjadi contoh hubungan ketiga komponen di atas.? Semakin bervariasi tanah dan bentang lahan di sebuah negara, maka semakin beragam makna bahasa serta cara pandang sebagai turunan dari bahasa.
Seringkali terdapat satu istilah kata yang sama tetapi bermakna berbeda di masyarakat wilayah lain. Musababnya karena lingkungan tanah dan bentang lahan yang berbeda.? Contoh yang paling populer di Indonesia adalah istilah ‘pilar’ dan ‘dasar’ yang sempat menjadi perdebatan beberapa tahun silam.
Bagi masyarakat yang tinggal di lahan kering, dasar sebuah bangunan adalah pondasi yang bentuknya horisontal. Di atas pondasi kemudian dipasang pilar-pilar sehingga membentuk bangunan. Pondasi adalah dasar. Demikian pula dasar adalah pondasi. Sebaliknya, pilar bagi masyarakat Sumatera dan Kalimantan yang tinggal di tanah rawa adalah pondasi sebuah bangunan.
Musababnya, bangunan di lahan rawa berbentuk panggung. Pondasi pada bangunan panggung berupa pilar-pilar yang ditancapkan sebagai pondasi. Pada rumah panggung minimal terdapat 4 pilar. Di atas 4 pilar itulah baru dipasang rangka untuk lantai berbentuk segi empat. Pondasi adalah pilar dan pilar adalah pondasi.
Pada konteks di atas cara pandang kedua masyarakat di lahan kering dan lahan rawa adalah benar pada konteksnya masing-masing sehingga tidak perlu diperdebatkan. Yang terpenting adalah memahami cara pandang masing-masing sehingga tak perlu juga penyeragaman. Contoh lain yang juga populer ialah istilah ‘lebak’ di masyakat sunda dengan ‘lebak’ yang dipahami masyarakat Sumatera dan Kalimantan.
Di masyarakat Sunda yang topografinya heterogen pada satuan luas tertentu, maka istilah ‘lebak’ adalah area di bagian bawah. Biasanya area lembah yang tidak terlalu luas. Lebak adalah lawan kata dari ‘tonggoh’ yang artinya area di bagia atas. ?Di masyarakat Suku Sunda di Jawa Barat dan Banten sering ditemui istilah ‘kampung lebak’ dan ‘kampung tonggoh’ yang merujuk pada posisi setiap kampung.
Bahkan Lebak di Banten juga menjadi nama sebuah kabupaten yang memang secara topografi berada di wilayah rendah. Berbeda dengan di Jawa Barat dan Banten, maka istilah ‘lebak’ di Sumatera dan Kalimantan merujuk pada hamparan rawa air tawar yang airnya bersumber dari sungai dan air hujan. Pada skala lokal hamparan rawa lebak terlihat datar, walaupun secara hakikat pada bentang lahan lebih luas memang berada di bagian bawah.
Konon, pernah ada kejadian suatu program yang awalnya untuk pengembangan rawa lebak, ternyata disalah pahami sebagai program untuk masyarakat di Kabupaten Lebak atau untuk sawah di lembah-lembah di Jawa Barat yang tersebar terpencar-pencar. Istilah lain yang juga dipahami berbeda adalah mudik.
Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah yang banyak sungai serta anak-anak sungai, mudik adalah istilah berlayar ke udik atau hulu. Daerah hulu biasanya di pedalaman yang menjadi kampung halaman, sementara hilir umumnya kota yang lebih ramai. Makna ini banyak dipahami oleh masyarakat Sumatera Selatan.?
Di Betawi, udik juga bermakna kampung. Kota Betawi sendiri sering disebut hilir sehingga orang yang pulang dari Betawi disebut ke udik. Mereka yang pergi ke Betawi disebut ke hilir. Dengan demikian mudik sama dengan pulang kampung. Konsep hulu-hilir pada masyarakat Riau dimaknai sebagai atas-bawah, lalu berkembang menjadi desa-kota. Biasanya desa berada di hulu, yang mereka sebut sebagai ‘atas’.
Sedangkan kota berada di hilir yang mereka sebut ‘bawah’. Maka jangan kaget apabila masyarakat sana pamitan “saya ke atas dulu ya pak” yang bermakna mau pulang ke desanya. Makna itu agak berbeda bagi orang Jawa Tengah dan Yogyakarta. Mudik adalah akronim dari ‘mulih dhisik’ yang bermakna pulang dulu atau pulang sebentar.
Mudik di sini memiliki makna lebih spesifik yang berkaitan dengan waktu yaitu sebentar. Tiga kata di atas sekadar contoh. Masih banyak kata lain yang bermakna berbeda karena pengaruh bentang alam. Misalnya di Sunda ‘pasir’ merujuk pada bukit. Demikian pula ‘bumi’ merujuk pada rumah. Di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, pantai juga merujuk pada tepi sungai sehingga tepi Sungai Musi sering juga disebut Pantai Musi.
Mungkin orang di luar Palembang, Sumatera Selatan, akan tertawa mendengarnya.? Itu karena masyarakat Sumatera Selatan di pedalaman tetapi berada di tepi sungai yang sangat lebar. Mereka sering menganalogikan sungai sebagai laut. Sehingga memaknai tepian sungai besar tersebut seakan seperti berada di tepi laut. Maka muncul juga nama daerah Muara Enim dan Tanjung Enim.
Kata Muara dan Tanjung yang biasanya merujuk lokasi tepi laut, ini berada di tepi sungai yang besar, tetapi jaraknya masih sangat jauh dari tepi laut. Indonesia yang berada di wilayah tropis memiliki tanah dan bentang lahan yang beragam. Dari 12 ordo tanah di dunia, ada 10 ordo tanah di Indonesia sehingga tingkat keragamannya paling tinggi di dunia.
Demikian pula bentang lahan di Indonesia sangat bervariasi dari pantai di dataran rendah, perbukitan di dataran menengah, hingga jalur pegunungan di dataran tinggi. Keragaman itu melahirkan makna yang berbeda untuk satu kata yang sama. Seringkali dalam pergaulan yang lebih luas cara pandang yang terpengaruh tanah dan bentang lahan di daerah masing-masing masih terbawa di alam bawah sadar.
Demikian pula Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga setiap tahun sangat terbuka dan dinamis menyerap makna dari bahasa-bahasa daerah. KBBI juga membuka ruang menerangkan satu kata dengan beragam makna. Pemahaman terhadap keragaman makna dan konteks yang dimaksud menjadi penting untuk melahirkan kebijaksanaan.***
Oleh : Destika Cahyana dan Muhamad Kundarto
1 Comment
kami tunggu selalu artikel / tulisannya yang bermanfaat, terus lah berkarya