Cara Mengukur Panen Tanaman Buah
4 November 2021SEMUA TERPUSAT DI JAWA
17 January 2022Tahun ini organisasi pangan dunia (FAO) menetapkan tema: ‘salt affected soil’ untuk merayakan Hari Tanah Dunia (World Soil Day) 2021. FAO juga menggaungkan jargon: ‘Halt soil salinization, boost soil productivity’ alias hentikan penggaraman tanah, tingkatkan produktivitas tanah. Memang salinisasi yang membuat tanah rusak menjadi isu global. Ia mengemuka di tengah perubahan iklim dan praktek pertanian yang buruk seperti kualitas air irigasi yang rendah dan pupuk berlebihan. Bagaimana pada level regional seperti Indonesia?
Tentu tak mudah menjawabnya. Mari kita pahami dulu yang dimaksud salt affected soil (SOS) alias tanah yang terkena pengaruh garam. SOS dapat juga disebut tanah asin. FAO melalui brosur digital dan video virtual pada situs resminya merujuk SOS pada 2 jenis tanah yaitu tanah salin dan tanah sodik. Secara sederhana tanah salin adalah tanah yang mengandung akumulasi garam-garam terlarut seperti Na+, HCO3-, Ca2+, K+,Cl-, Mg2+, SO42-. Kehadiran garam terlarut itu membuat tanaman kesulitan menyerap air dari tanah.
Sementara tanah sodik merupakan tanah yang mengandung ion natrium berlebihan. Natrium dalam Bahasa Inggris disebut sodium sehingga tanah yang banyak mengandung ion sodium disebut tanah sodik. Ion natrium berlebih dapat merusak struktur tanah. Tanah menjadi keras dan padat saat kering serta lengket saat basah.
Penggaraman yang menyebabkan tanah salin dan tanah sodik membuat produktivitas pertanian menurun. Menurut FAO, di dunia terdapat lebih dari 833-juta ha lahan (8.7% dari lahan di dunia) yang tergolong tanah garam. Pada ilustrasi sebaran tanah salin dan tanah sodik di situs FAO terlihat sebaran kedua tanah tersebut di Indonesia ternyata sangat kecil dibandingkan sebarannya di dunia.
Lingkungan garam
Secara garis besar proses pembentukan tanah garam terdiri dari dua sebab. Pertama, proses yang alami. Kedua, proses yang dipicu aktifitas manusia. Proses yang pertama terjadi secara alami pada lingkungan kering atau arid, semi-arid (semi-kering), dan area pantai. Pada lingkungan itu tanah garam yang terbentuk tidak tergolong tanah terdegradasi, tetapi merupakan tipe tanah yang terbentuk dari lansekap tersebut.
Pada lingkungan tersebut biasanya vegetasi halophytic yang hidup. Halo maknanya salt atau garam, sementara phyte berarti tanaman. Contoh tanah garam—tanah salin—yang terkenal adalah dataran garam Uyuni yang mengelilingi danau di dataran tinggi Bolivia. Tanah garam di sekitar danau digunakan untuk produksi biji tanaman bernutrisi tinggi seperti Chenopodium quinoa. Tanah salin di dataran Uyuni juga ditumbuhi tumbuhan liar yang menjadi pakan camelid alias hewan keluarga unta-untaan.
Proses yang kedua ialah pembentukan tanah garam yang dipicu aktifitas manusia. Pemicu utama penggaraman tanah oleh manusia adalah praktek pertanian yang buruk seperti irigasi dengan kualitas air yang rendah, penggundulan tanaman yang berakar dalam sehingga muka air tanah meningkat, irigasi air tanah di daerah pantai, dan pemupukan berlebihan. Demikian pula beragam aktifitas manusia yang memicu perubahan iklim menyebabkan tanah di daerah pesisir terkena intrusi air laut sehingga terjadi salinisasi dan sodifikasi.
Sumber garam
Garam-garam terlarut yang terdapat dalam tanah sebagian besar terdiri dari berbagai proporsi kation natrium, kalsium, dan magnesium, maupun anion klorida dan sulfat. Konstituen yang biasanya hanya terdapat dalam jumlah kecil adalah kation kalium dan anion bikarbonat, karbonat, dan nitrat.
Secara pedogenesis sumber langsung garam adalah mineral utama yang ditemukan di tanah dan di bebatuan yang terbuka di kerak bumi. Diperkirakan rata-rata kandungan klor dan belerang di kerak bumi masing-masing 0,05 dan 0,06 persen, sedangkan natrium, kalsium, dan magnesium masing-masing 2—3 %. Selama proses pelapukan kimia, yang melibatkan hidrolisis, hidrasi, larutan, oksidasi, dan karbonasi, konstituen ini secara bertahap dilepaskan dan menjadi bentuk larut.
Lautan purba juga dapat menjadi sumber garam. Misalnya, endapan laut purba yang terangkat karena proses geologis lalu mengering. Endapan itu menjadi bahan induk tanah yang kemudian dapat berkembang menjadi tanah garam. Serpih Mancos yang terjadi di Colorado, Wyoming, dan Utah merupakan contoh khas dari endapan laut salin. Lautan juga merupakan sumber garam di tanah dataran rendah di sepanjang tepi pantai laut. Kadang-kadang garam dipindahkan ke daratan melalui pengangkutan semprotan oleh angin dan disebut siklik garam.
Namun demikian, yang lebih umum, sumber langsung garam adalah air permukaan dan air tanah. Semua air itu mengandung garam terlarut yang konsentrasinya tergantung pada kandungan garam tanah dan bahan geologi yang telah bersentuhan dengan air. Air bertindak sebagai sumber garam ketika digunakan untuk irigasi. Mereka juga dapat menambahkan garam ke tanah di bawah kondisi alami, seperti ketika mereka membanjiri dataran rendah atau ketika air tanah naik dekat dengan permukaan tanah.
Salinisasi
Tanah salin umumnya terbentuk di daerah iklim kering atau semi kering. Tanah salin jarang sekali terbentuk di daerah lembab dengan curah hujan tinggi dan evaporasi rendah. Pada kondisi lembab seperti di daerah tropis di Indonsia, larutan garam-garam yang semula berada pada solum tanah tercuci melewati profil tanah menuju aliran air tanah dan akhirnya diangkut sungai-sungai ke lautan. Itulah sebabnya tanah salin praktis tidak ada di daerah lembab, kecuali jika tanah telah terkena air laut di delta sungai dan dataran rendah lainnya di dekat laut.
Di daerah kering, proses pencucian dan transportasi garam terlarut melalui profil tanah tidak selengkap di daerah lembab. Pencucian di daerah kering biasanya bersifat lokal. Kemungkinan garam terlarut juga tidak terangkut jauh. Penyebabnya, pertama karena curah hujan rendah sehingga tidak mencukupi untuk mencuci dan mengangkut garam. Penyebab kedua, tingkat penguapan (evaporasi) yang tinggi cenderung membuat garam terkonsentrasi di tanah dan di air permukaan.
Drainase yang terbatas, muka air tanah yang dangkal, dan permeabilitas tanah yang rendah juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap salinisasi tanah. Pada daerah dengan curah hujan yang rendah di daerah kering, saluran drainase permukaan biasanya kurang berkembang. Dampaknya pada sebuah cekungan tidak memiliki outlet untuk drainase ke sungai yang permanen.
Demikian pula drainase air yang mengandung garam dari cekungan di dataran yang lebih tinggi ke cekungan di dataran yang lebih rendah dapat menyebabkan banjir sementara atau dapat membentuk danau asin permanen. Pada kondisi seperti itu, pergerakan air tanah asin ke atas atau penguapan air permukaan menyebabkan pembentukan tanah salin. Luas area salin yang terbentuk dapat bervariasi dari beberapa hektar hingga ratusan mil persegi. Banyak tanah salin di Great Basin terbentuk dengan cara ini. Daerah serupa terjadi di seluruh Negara Bagian Barat. Mereka sering disebut sebagai playas atau danau kering.
Permeabilitas tanah yang rendah menyebabkan drainase yang buruk sehingga menghambat pergerakan air ke bawah. Permeabilitas yang rendah mungkin disebabkan oleh tekstur atau struktur tanah yang kurang baik atau adanya lapisan yang tidak tahan lama seperti claypan, caliche, atau hardpan silika. Kehadiran lapisan tanah kedap air sangat penting untuk pembentukan tanah salin yang ditemukan di Hongaria.
Problem penggaraman
Berdasarkan aspek ekonomi, masalah penggaraman tanah muncul ketika tanah yang sebelumnya non-salin menjadi salin karena proses irigasi oleh manusia. Tanah seperti itu sering terletak di lembah-lembah yang berdekatan dengan sungai. Biasanya dipilih daerah yang datar untuk budidaya karena pertimbangan kemudahan pengairannya. Pada kondisi alami, sebenarnya drainase telah memadai, tetapi karena proses irigasi buatan seringkali petani tidak menyadari pentingnya membuat saluran drainase untuk menampung atau mengeluarkan air tambahan dan garam terlarut.
Dampaknya muka air tanah menjadi dangkal mendekati permukaan tanah setelah beberapa tahun. Biasanya pada pengembangan awal proyek irigasi, air sering berlimpah sehingga terjadi kecenderungan menggunaka berlebihan. Hal ini mempercepat kenaikan permukaan air tanah. Air irigasi dapat mengandung garam sehingga sejumlah besar garam terlarut dapat bertambah ke tanah irigasi selama periode waktu yang relatif singkat. Ketika permukaan air naik mendekati permukaan tanah, air tanah bergerak ke atas ke zona akar dan ke permukaan tanah. Pada kondisi seperti itu, air tanah, serta air irigasi, berkontribusi terhadap salinisasi tanah.
Pendekatan pedogenesis
Tentu tak mudah menjawab seberapa besar ancaman salinisasi tanah di Indonesia sebelum memahami apa itu salinisasi secara pedogenesis terutama untuk tujuan klasifikasi tanah. Salinisasi dalam pendekatan pedogenesis adalah proses penggaraman tanah. Berikutnya proses penggaraman pada tanah berkembang menjadi 2 jenis tanah garam yaitu tanah salin dan tanah sodik. Yang disebut pertama, tanah salin, adalah tanah yang memiliki horison pada permukaan tanah dengan akumulasi garam-garam yang lebih larut dari gipsum di dalam air dingin.
Horison permukaan tersebut dijuluki horison salik. Suatu horizon disebut horison salik jika memiliki tebal 15 cm atau lebih. Horison tersebut juga selama 90 hari berturut-turut atau lebih dalam tahun-tahun normal memiliki: 1) Daya hantar listrik (DHL) dari air yang diekstrak dari pasta jenuh, adalah 30 dS/m atau lebih; dan 2) hasil perkalian DHL, dalam dS/m, dengan ketebalan horizon, dalam cm, adalah 900 atau lebih. Kehadiran horison salik pada profil tanah menjadi horison penciri tanah yang membuat tanah tersebut digolongkan sebagai tanah salin.
Tanah yang kedua, tanah sodik, sedikit berbeda dengan tanah salin. Sodik berasal dari kata ‘sodium’ alias natrium (Na) sehingga horison penciri tanah sodik adalah akumulasi natrium yang disebut juga horison natrik. Bedanya lagi, horison natrik bukanlah horison permukaan, tetapi horison bawah permukaan. Horison natrik mirip dengan horison argillik yaitu horison dengan akumulasi klei. Dengan kata lain horison natrik adalah horison argillik yang mengandung akumulasi natrium.
Horison bawah permukaan tersebut disebut horison natrik jika memenuhi persyaratan: ketebalan minimal 7,5 cm atau 1/10 jumlah ketebalan semua horison yang terletak di atasnya jika kelas butir horison adalah berlempung kasar, berlempung halus, berdebu kasar, berdebu halus, halus atau sangat halus, atau berlempung, atau berliat termasuk pendamping skeletalnya. Namun, jika horison memenuhi kriteria kelas besar butir berpasir atau skeletal-berpasir, maka ketebalan minimal harus 15 cm.
Horison natrik memiliki salah satu syarat berikut: a. Persentase natrium dapat-tukar (ESP) 15 persen atau lebih, atau rasio adsorpsi natrium(SAR) 13 atau lebih, pada satu horizon atau lebih di dalam kedalaman 40 cm dari batas atas horizon (natrik); atau b. Kandungan magnesium plus natrium dapat-tukar lebih besar daripada kandungan kalsium dapat-tukar plus kemasaman pertukaran (pada pH 8,2), pada satu horizon atau lebih di dalam kedalaman 40 cm dari batas atas horizon (natrik), dan ESP 15 persen atau lebih (atau SAR 13 atau lebih), pada satu horizon atau lebih di dalam kedalaman 200 cm dari permukaan tanah mineral. Horison natrik juga masih memiliki persyaratan lain misalnya memiliki tanda atau bukti adanya illuviasi liat.
Menurut Prof. Sudarsono, ahli pedogenesis di Institut Pertanian Bogor, banyaknya persyaratan horison permukaan atas untuk dapat disebut horison salik dan horison bawah permukaan dapat disebut horison natrik, maka di Indonesia sulit sekali berkembang tanah salin dan tanah sodik secara pedogenesis. Musababnya, iklim di Indonesia lembap dengan curah hujan tinggi dan evaporasi rendah. Air hujan membuat garam-garam terlarut tercuci keluar dari solum tanah sehingga tak sempat membentuk horison salik dan natrik sesuai dengan persyaratan pedogenesis.
Dengan demikian, fenomena tanah asin yang terjadi di daerah pasang surut di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan serta lahan sawah asin di Pantura, sebetulnya belum termasuk pada tanah garam yang disebut tanah salin atau tanah sodik. Namun demikian, secara praktek budidaya, fenomena tanaman keracunan garam saat musim kemarau di daerah pesisir dan area irigasi juga fakta yang tidak terbantahkan. Pada musim hujan tanah bergaram itu hilang dengan sendirinya karena garam terlarut tercuci.
Fenomena tanah bergaram—bukan tanah garam—musiman di tanah air tentu harus disiasati. Umumnya petani tradisional membiarkan lahannya bera pada musim kemarau. Sebaliknya, petani modern mulai menggunakan varietas tanaman toleran garam bila tetap memilih bercocok tanah di musim kemarau. Di sisi lain praktek pertanian berkelanjutan seperti penggunaan air irigasi berkualitas, penambahan bahan organik, serta pemupukan berimbang dapat mengurangi ancaman tanah bergaram musiman. Selamat Hari Tanah Dunia. (Destika Cahyana)